Pelanggaran hukum dalam transaksi elektronik dan perbuatan hukum di
dunia maya merupakan fenomena yang mengkhawatirkan, mengingat berbagai
tindakan, seperti carding, hacking, cracking, phising, viruses,
cybersquating, pornografi, perjudian (online gambling), transnasional
crime yang memanfaatkan informasi teknologi sebagai “tool” telah menjadi
bagian dari aktivitas pelaku kejahatan internet. Oleh karena itu,
Pemerintah memandang RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) mutlak diperlukan bagi Negara Indonesia, karena saat ini Indonesia
merupakan salah satu Negara yang telah menggunakan dan memanfaatkan
teknologi informasi secara luas dan efisien, namun belum memiliki
undang-undang cyber.
Cakupan materi RUU ITE, antara lain :
informasi dan dokumen elektronik, pengiriman dan penerimaan surat
elektronik, tanda tangan elektronik, sertifikat elektronik,
penyelenggaraan system elktronik, transaksi elektronik, hak atas
kekayaan intelektual dan privasi. Hal-hal demikian, dikemukakan Dirjen
Aplikasi Telematika Kominfo, Cahyana Ahmadjayadi dalam penjelasannya
kepada jabarprov.go.id, Senin (11/12) di Hotel Panghegar Bandung, disela
acara Sosialisasi RUU tentang ITE.
Menurut Cahyana, bahwa UU
tentang ITE akan memberikan manfaat, yaitu : akan menjamin kepastian
hokum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong
pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi
informasi dan melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan
teknologi informasi. Adapun terobosan-terobosan yang penting yang
dimilikinya, imbuh Cahyana, adalah, pertama, tanda tangan elektronik
diakui memiliki kekuatan hokum yang sama dengan tandatangan konvensional
(tinta basah dan bermaterai). Kedua, alat bukti elektronik diakui
seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. Ketiga,
Undang-Undang ITE, berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan
hokum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia
yang memiliki akibat hokum di Indonesia. Keempat, penyelesaian sengketa,
juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternative
atau arbitrase.
Fakta menunjukan, demikian Cahyana,
masyarakat umum dan perbankan khususnya telah melakukan kegiatan
transaksi yang seluruhnya menggunakan teknologi informasi sebagai alat
(tools). Berdasarkan data transaksi elektronik melalui perbankan di
Indonesia (BI 2005), jumlahtransaksi mencapai 1,017 milliar (39,9 juta
pemegang kartu), dengan nilai transaksi mencapai Rp 1.183,7 trilyun yang
dikelola 107 penyelenggara. Mengingat transaksi elektronik ini
meningkat, maka sangat diperlukan payung hukum untuk mengaturnya, untuk
itulah UU ITE menjadi urgen dan mendesak, demikian Dirjen APL Telematika
Depkominfo, Cahyana Ahmadjayadi.
UU ITE yang terdiri dari 13 Bab dan
54 Pasal mencakup materi mengenai Informasi dan Dokumen Elektronik;
Pengiriman dan Penerimaan Surat Elektronik; Tanda Tangan Elektronik;
Sertifikat Elektronik; Penyelenggaraan Sistem Elektronik; Transaksi
Elektronik; Hak Atas kekayaan Intelektual; dan Perlindungan Data Pribadi
atau Privasi. Sebagai tindak lanjut UU ITE, akan disusun beberapa RPP
sebagai peraturan pelaksanaan, yaitu mengenai Lembaga Sertifikasi
Kehandalan, Tanda Tangan Elektronik, Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik, Penyelenggaraan Sistem Elektronik, Transaksi Elektronik,
Penyelenggara Agen Elektronik, Pengelola Nama Domain, Lawful
Interception, dan Lembaga Data Strategis.
Melengkapi Kitab
Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah ada, UU ITE juga
mengatur mengenai hukum acara terkait penyidikan yang dilakukan aparat
penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) yang memberi paradigma baru
terhadap upaya penegakkan hukum dalam rangka meminimalkan potensi abuse
of power penegak hukum sehingga sangat bermanfaat dalam rangka
memberikan jaminan dan kepastian hukum. “Penyidikan di bidang teknologi
informasi dan transaksi elektronik dilakukan dengan memperhatikan
perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik,
integritas data atau keutuhan data, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 42 ayat (2)). Sedangkan Penggeledahan dan/atau
penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak
pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat dan
wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum (Pasal 42 ayat
(3)).”
Pengaturan tersebut tidak berarti memberikan
peluang/pembiaran terhadap terjadinya upaya kejahatan dengan menggunakan
sistem elektronik, karena dalam halhal tertentu penyidik masih
mempunyai kewenangan melaksanakan tugasnya sebagaimana diatur dalam
KUHAP (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Dalam hal
pelaku kejahatan tertangkap tangan, penyidik tidak perlu meminta izin,
serta dalam hal sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
penyidik dapat melakukan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib
segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna
memperoleh persetujuan (Pasal 38 ayat (2) KUHAP.
Tulisan
ini merupakan rangkaian dari tulisan saya sebelumnya, yang masih
berkutat di sekitar penerapan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE yang diberlakukan sejak April
2008 lalu ini memang merupakan terobosan bagi dunia hukum di Indonesia,
karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia mempunyai
perangkat. Karena sifatnya yang berisi aturan main di dunia maya, UU ITE
ini juga dikenal sebagai Cyber Law.
Sebagaimana layaknya Cyber Law
di negara-negara lain, UU ITE ini juga bersifat ekstraterritorial, jadi
tidak hanya mengatur perbuatan orang yang berdomisili di Indonesia tapi
juga berlaku untuk setiap orang yang berada di wilayah hukum di luar
Indonesia, yang perbuatannya memiliki akibat hukum di Indonesia atau di
luar wilayah Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa bila ada blogger di Belanda yang
menghina Presiden SBY melalui blognya yang domainnya Belanda, bisa
terkena keberlakuan UU ITE ini. Pasal dalam Undang-undang ITE Pada
awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia berangkat dari mulai
banyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi lewat dunia maya.
Atas transaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen, terutama
konsumen akhir (end-user) diberikan perlindungan hukum yang kuat agar
tidak dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang dilakukan di dunia
maya sangat rawan penipuan.
Dan dalam perkembangannya, UU
ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh
tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk
perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content yang
memuat unsur-unsur pornografi, pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama
baik, penghinaan dan lain sebagainya.
Terdapat sekitar 11
pasal yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU
ITE, yang mencakup hampir 22 jenis perbuatan yang dilarang. Dari 11
Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan membahayakan blogger,
pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di dunia maya, yang
bisa saja dilakukan oleh seorang blogger tanpa dia sadari. Pasal-Pasal
tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta
Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 27 ayat (1) ”Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Pasal 27
ayat (3)”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik. ”Pasal 28 ayat (2)“Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).”
Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, UU ITE
memberikan sanksi yang cukup berat sebagaimana di atur dalam Pasal 45
ayat (1) dan (2). Pasal 45 ayat (1)
“Setiap orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 45 ayat (2)“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Kronologis perjalanan UU ITE:
Perjalanan UU ITE memerlukan waktu yang lama (5 tahun). Hal ini menyebabkan UU
ITE menjadi sangat lengkap karena RUU ITE telah melalui banyak pembahasan dari
banyak pihak. Sehingga konsultan yang disewa oleh DEPKOMINFO pun menilai bahwa
UU ITE ini terlalu ambisius karena Indonesia adalah negara satu-satunya di
dunia yang hanya mempunyai satu Cyber Law untuk mengatur begitu luasnya cakupan
masalah dunia Cyber, sementara negara lain minimal memiliki tiga Cyber Law.
Namun Bapak Cahyana sebagai pemateri malah bersyukur dengan keadaan ini.
Beliau menjelaskan lebih lanjut kondisi nyata di lapangan, betapa berbelitnya
proses pengesahan suatu RUU di DPR. Sehingga bagi Indonesia lebih baik memiliki
satu Cyber law saja sehingga DEPKOMINFO lebih leluasa menindak lanjuti UU ITE
dengan membuat Peraturan Pemerintah yang masing-masing mengatur hal-hal yang
lebih detail.